
Membangun Keunggulan Tanpa Kehilangan Jati Diri: Urgensi Visi Rektor dalam Transformasi PTKI di Abad 21
Oleh: [Syaifuddin Sabda][1]
LANSKAP pendidikan tinggi global di dekade ketiga abad ini sedang mengalami pergeseran dahsyat yang tak terelakkan. Bagi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), tantangan ini menjadi lebih kompleks. Institusi yang selama ini memegang teguh peran sebagai penjaga tradisi dan nilai-nilai keislaman—seringkali diibaratkan sebagai menara gading di tengah masyarakat—kini berhadapan dengan tekanan luar biasa dari demokratisasi informasi, disrupsi teknologi, dan perubahan fundamental pasar tenaga kerja. Di tengah gelombang ketidakpastian (VUCA) dan akselerasi Revolusi Industri 4.0 dan memasuki Society 5.0 ini, kita harus mengakui satu kebenaran pahit: model universitas tradisional, termasuk di lingkungan PTKI, tidak lagi sepenuhnya memadai untuk menjawab tantangan zaman.
Dalam situasi genting ini, peran pimpinan universitas—Rektor—di lingkungan PTKI berubah total. Rektor tidak bisa lagi sekadar menjadi administrator manajerial atau bahkan sekadar ulama yang dihormati; mereka harus bertransformasi menjadi arsitek strategis. Visi seorang Rektor bukan lagi sekadar retorika aspiratif dalam presentasi pemilihan dan pidato pelantikan atau serahterima jabatan, melainkan variabel independen yang krusial. Visi inilah yang menjadi peta jalan strategis yang menentukan apakah sebuah PTKI akan berevolusi menjadi institusi unggul yang relevan dengan zaman, atau stagnan dan tergilas oleh perubahan, sembari tetap menjaga jati dirinya.
Implikasi dari Visi yang Kuat: Integrasi Keilmuan dan Modernitas
Ketika seorang Rektor PTKI memiliki visi yang tajam dan jauh ke depan, implikasi positifnya akan terasa di seluruh sendi institusi dalam menavigasi dua tuntutan sekaligus: keunggulan akademik dan keteguhan nilai Islam. Visi kepemimpinan transformasional adalah prasyarat mutlak bagi keberhasilan transisi menuju PTKI unggul abad ke-21.
Pertama, Rektor yang visioner di PTKI tidak melihat teknologi hanya sebagai alat bantu sekuler, tetapi sebagai ekosistem baru untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman secara lebih luas dan efektif. Visi mereka mendorong transformasi digital menyeluruh—memanfaatkan AI, Big Data, dan IoT—untuk menciptakan pembelajaran yang terpersonalisasi dan riset keislaman yang presisi, melampaui sekadar digitalisasi administrasi.
Kedua, visi yang kuat memberikan keberanian untuk meruntuhkan “silo” atau sekat-sekat akademik yang kaku, yang mungkin selama ini memisahkan ilmu agama dan ilmu umum. Rektor visioner menyadari bahwa tantangan kompleks abad ini—seperti etika AI atau perubahan iklim—memerlukan pendekatan interdisipliner yang radikal. Mereka mendorong reorientasi kurikulum yang bergeser dari sekadar penguasaan konten menuju integrasi keilmuan dan penguasaan kompetensi inti seperti berpikir kritis dan kolaborasi, dalam bingkai nilai-nilai Islam.
Ketiga, visi pimpinan yang modern akan secara aktif meruntuhkan batas antara kampus dan dunia luar, karena keunggulan PTKI tidak dapat dicapai dalam isolasi. Visi ini memosisikan PTKI sebagai hub sentral dalam ekosistem inovasi melalui kolaborasi strategis (Quadruple Helix) dengan industri, pemerintah, dan masyarakat, memastikan bahwa riset dan lulusan PTKI memberikan dampak riil bagi umat dan bangsa.
Bahaya Absennya Visi: Stagnasi dan Kehilangan Relevansi
Sebaliknya, implikasi dari ketiadaan visi yang relevan sangatlah fatal bagi PTKI. Tanpa visi yang menuntut reformasi tata kelola menuju organisasi yang lincah (agile organization), PTKI akan tetap terperangkap dalam birokrasi yang kaku dan resistensi terhadap perubahan, yang seringkali berlindung di balik dalih menjaga tradisi.
Absennya visi pimpinan berarti membiarkan sumber daya manusia—dosen dan tenaga kependidikan—tanpa arah pengembangan yang jelas untuk memiliki growth mindset dan literasi digital yang dibutuhkan untuk transformasi. Akibatnya, PTKI tersebut mungkin saja masih berdiri dengan megah, namun kehilangan relevansinya, gagal mencetak sarjana muslim yang adaptif, dan tidak mampu memberikan solusi atas permasalahan kontemporer di era baru ini.
Sebagai penutup, perwujudan PTKI unggul di abad ke-21 yang mampu membangun keunggulan tanpa kehilangan jati diri adalah upaya kompleks yang memerlukan navigasi cermat. Di sinilah kualitas visi seorang pemimpin diuji. Kemampuan Rektor untuk merumuskan, mengomunikasikan, dan memobilisasi seluruh sivitas akademika menuju visi integratif tersebut adalah faktor determinan yang membedakan antara PTKI yang sekadar bertahan hidup dan PTKI yang benar-benar mencapai keunggulan sebagai pusat peradaban Islam di era disrupsi. Di era ini, visi pimpinan adalah cetak biru fundamental bagi masa depan institusi.
[1]Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin
Tag:Opini, Syaifuddin Sabda



