
Rektor UIN Antasari Jadi Pembicara Kunci IPCIS III di UINSA, Paparkan Tantangan Keadilan Global
SURABAYA – Rektor Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin Prof. Dr. H. Mujiburrahman, S.Ag., M.A., menjadi salah satu Pembicara Kunci dalam perhelatan International Postgraduate Conference for Interdisciplinary Islamic Studies (IPCIS) III. Acara ini diselenggarakan oleh Pengelola Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, di Menara K.H. Mahrus Aly, Selasa (28/10/2025).
Konferensi yang berlangsung selama dua hari, 28–29 Oktober ini mengusung tema utama “Rethinking Transdisciplinary Islamic Studies for Global Peace and Humanity” (Memikirkan Kembali Studi Islam Transdisipliner untuk Kemanusiaan dan Perdamaian Global).
Direktur Pascasarjana UINSA Prof. H. Masdar Hilmy, M.A., Ph.D., dalam sambutannya, membuka forum yang bertujuan mempertemukan para akademisi, peneliti, dan mahasiswa pascasarjana dari seluruh dunia. Forum ini jelasnya, dirancang untuk terlibat secara kritis dalam persimpangan studi Islam dan berbagai disiplin ilmu untuk mengatasi tantangan global.
Selain Rektor UIN Antasari, konferensi ini juga menghadirkan pembicara internasional lainnya, seperti Associate Professor Jeremy J. Kingley dari Western Sydney University, Australia; Sana Jaffrey dari Australian National University (ANU); dan Alexander Raymond Arifianto dari RSIS Nanyang Technological University (NTU), Singapura.
Dua Akar Ketidakadilan
Prof. Mujib, yang diundang secara khusus karena keahliannya dalam “Budaya, Identitas, dan Kewarganegaraan Global”, menyampaikan makalah berjudul “The Struggle for Justice: Local, National, and Global Citizenship” (Perjuangan untuk Keadilan: Kewarganegaraan Lokal, Nasional, dan Global).
Dalam paparannya, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Antasari ini menyoroti paradoks fundamental kemanusiaan, yakni antara kesamaan dan perbedaan. Menurutnya, meski perbedaan seharusnya melahirkan kerja sama, kenyataan sering kali timpang.
“Sayangnya, kenyataan tidak selalu berjalan demikian. Dalam masyarakat, sebagian orang diuntungkan sementara yang lain dirugikan. Singkatnya, timbullah ketidakadilan: manusia menindas sesama manusia,” tegas Prof. Mujib.
Dirinya kemudian mengajukan pertanyaan fundamental yang menjadi inti dari perjuangan peradaban manusia.
“Karena itu, pertanyaan abadi sepanjang sejarah manusia adalah: Bagaimana kita bisa mengelola perbedaan kita secara damai dan adil?”, ungkap Prof. Mujib.
Rektor mengidentifikasi setidaknya ada dua penyakit yang menyebabkan manusia berlaku tidak adil: kesombongan dan kerakusan.
Kesombongan, jelasnya, muncul ketika seseorang memandang rendah orang lain karena merasa unggul, baik dalam intelektualitas, kekayaan, maupun kekuasaan.
“Sementara kerakusan adalah hasrat tanpa batas untuk memiliki dan mengendalikan, yang mendorong eksploitasi,” papar lulusan Pondok Pesantren Al-Falah tersebut.
Imperialisme Digital
Prof. Mujib juga menyoroti bentuk ketidakadilan di era modern yang disebutnya sebagai “imperialisme digital”. Di era ini menurutnya, kontrol negara-negara maju semakin kuat melalui teknologi informasi.
“Warga negara-negara miskin menjadi konsumen belaka dari teknologi mereka—termasuk media sosial, yang memanen data pribadi kita secara gratis,” urai alumnus S-2 McGill University, Kanada tersebut.
Rektor kemudian menjelaskan bagaimana media sosial memanipulasi kebutuhan psikologis manusia, seperti keinginan untuk dipuji, melalui “likes” dan reaksi, yang pada akhirnya mengikat harga diri seseorang pada pengakuan online.
Menutup presentasinya, Prof. Mujib mengajak seluruh peserta untuk merefleksikan posisi mereka dalam perjuangan global ini.
“Pada akhirnya, pertanyaan sebenarnya bukanlah seberapa sukses keadilan telah diraih—tetapi di pihak mana kita berdiri: Apakah kita termasuk penindas dan pengkhianat keadilan—atau di antara para pembela dan pejuangnya?”, pungkas jebolan S-3 Universiteit Utrecht, Belanda tersebut.
(Fur/Ana)





