
Prof. Mujiburrahman: Politisasi Agama dan Kesenjangan Sosial Jadi Tantangan Berat Kerukunan
BANJARMASIN – Rektor Universitas Islam Negeri Antasari Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., menyoroti dua tantangan berat yang dapat merusak kerukunan umat beragama, yakni politisasi agama dan kesenjangan sosial. Menurutnya, agama tidak cukup hanya menjadi “pemadam kebakaran” saat konflik terjadi, tetapi harus menjadi kekuatan keadilan yang aktif menciptakan kesejahteraan.
Hal tersebut Rektor sampaikan saat menjadi narasumber dalam Seminar Peningkatan Kerja Sama dan Kolaborasi AntarUmat Beragama dalam Membangun Kerukunan, di Mahligai Pancasila Banjarmasin, Sabtu (25/10/2025).
Seminar yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Selatan ini, merupakan bagian dari rangkaian Silaturahmi dan Rapat Koordinasi FKUB Regional Kalimantan Tahun 2025.
Baca juga: Rektor UIN Antasari Jadi Narasumber Seminar Kerukunan Lintas Agama FKUB Regional Kalimantan
Prof. Mujib yang hadir sebagai perwakilan dari umat Islam, mengidentifikasi tantangan pertama adalah pertarungan politik yang menggunakan identitas agama untuk meraih dukungan. Ia memperingatkan bahwa strategi ini berbahaya karena menggiring masyarakat ke dalam polarisasi.
“Dalam pertarungan politik, orang digiring untuk berpikir hitam-putih, kawan-lawan, menang-kalah, sehingga otomatis menimbulkan ketegangan dan konflik,” ujar Rektor.
Ia menambahkan, situasi ini diperparah di era digital oleh penyebaran informasi di media sosial yang seringkali manipulatif, dan diperkuat oleh sistem algoritma yang membuat orang semakin yakin dengan kelompoknya sendiri.
Tantangan berat kedua, lanjut Prof. Mujib, adalah kesenjangan sosial, terutama di bidang ekonomi. Ia bahkan menyebut pertengkaran karena perbedaan pendapatan bisa lebih keras daripada perbedaan pendapat.
“Orang bisa bertengkar karena berbeda pendapat, tetapi mungkin pertengkarannya akan lebih keras karena berbeda pendapatan,” tegas alumnus Pondok Pesantren Al-Falah tersebut.
Menurut Rektor, kesenjangan ini semakin terasa akibat budaya pamer kemewahan (flexing) di media sosial yang memicu kecemburuan sosial.
“Ketika identitas agama dibawa-bawa, konflik akan bertambah hebat dan menyala-nyala,” tambah lulusan S-2 McGill University (Kanada) tersebut.
Agama sebagai Kekuatan Liberatif
Prof. Mujib juga menekankan bahwa peran agama seharusnya tidak hanya berfokus pada pengelolaan perbedaan atau toleransi semata.
“Agama jangan hanya dilihat dari potensi konfliknya, tetapi juga potensi liberatifnya,” katanya.
Untuk melawan politisasi agama, Rektor mendorong umat beragama untuk menjalankan apa yang disebutnya sebagai “politik moral” atau high politics.
“Politik moral bukan bekerja untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, tetapi untuk menyuarakan nilai-nilai moral seperti kejujuran dan keadilan yang wajib dipegang oleh siapa pun dalam berpolitik,” jelas jebolan S-3 Universiteit Utrecht (Belanda) tersebut.
Sementara itu, untuk menghadapi ketimpangan sosial, Prof. Mujib menyebut agama memiliki kekuatan besar melalui filantropi, seperti zakat, infak, dan sedekah untuk pemberdayaan kaum miskin. Ia juga mendorong agar lembaga pendidikan keagamaan swasta mendapat dukungan agar tidak turut melanggengkan kesenjangan.
Selain itu, Rektor memandang ajaran agama sangat penting untuk melawan budaya materialistis dan konsumtif.
“Ajaran agama tentang keutamaan kebaikan hati dan perbuatan ketimbang citra-citra luar yang ditampilkan, kiranya semakin penting ditanamkan dan disebarkan,” ajaknya.
Seminar ini turut menghadirkan narasumber lintas agama lainnya, yakni Kardinal Ignatius Suharyo (Katolik), Dr. Y.M. Maha Bikhu Dutavita Stavira (Buddha), dan Dr. Drs. I Gede Rudia Adiputra, M.Ag. (Hindu). Acara dihadiri oleh para pengurus FKUB se-Kalimantan, serta perwakilan dari Sulawesi Selatan dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
(Fur/Ana)




