
Ketika Hukum Tak Lagi Sekadar Teks: Prof. Yusna Zaidah Kukuhkan Gagasan Progresivitas di UIN Antasari
BANJARBARU – “Kalau hakim hanya menjadi corong undang-undang, lalu siapa yang menyalurkan nurani keadilan?” ujar Prof. Dr. Hj. Yusna Zaidah, M.H., dengan senyum tenang, di hadapan mikrofon yang menyala. Kalimat itu seolah menjadi pembuka yang menyentuh ruang batin ratusan tamu yang memadati Gedung Serbaguna Kampus 2 UIN Antasari, Selasa (4/11/2025), dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar.
Sebelum naik ke podium, suasana acara telah dihangatkan oleh lantunan “Indonesia Raya” dan “Hymne UIN Antasari”, disusul pembacaan doa dan tayangan perjalanan karier sembilan profesor baru. Di antara mereka adalah Prof. Yusna, yang kemudian dengan orasi ilmiahnya menggugah kesadaran banyak kalangan hukum dan akademisi: “Mewujudkan Progresivitas Hukum Melalui Diskresi Hakim pada Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dalam Perspektif Maqasid Syariah.”
Dalam orasinya, Guru Besar bidang Ilmu Hukum Acara Peradilan Agama ini menegaskan, hukum Islam sejatinya bukan sistem yang kaku, melainkan dinamis dan berorientasi pada kemaslahatan manusia.
“Hakim tidak boleh berhenti pada teks, tapi harus mampu menafsirkan hukum dengan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat,” tuturnya dengan nada mantap.
Menurut Prof. Yusna, diskresi hakim bukan kebebasan tanpa batas, melainkan “kebebasan yang bertanggung jawab dan bermoral”. Ia menjelaskan, dalam banyak kasus di pengadilan agama, hakim dihadapkan pada situasi saat norma hukum tertulis tidak cukup menjawab keunikan peristiwa yang terjadi.
“Di sinilah letak seni seorang hakim—menemukan keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural,” ujarnya.
Dalam bagian akhir pidatonya, Prof. Yusna mengutip firman Allah dalam surah Al-Ma’idah ayat 8: “Berlaku adillah, karena ia lebih dekat kepada takwa.”
Prof. Yusna menegaskan, keadilan tidak cukup diwujudkan melalui kepatuhan terhadap pasal-pasal hukum semata.
“Keadilan harus hidup di hati, bergerak dalam pikiran, dan menuntun tindakan hakim,” ucapnya lirih namun tegas.
Siang itu, ketika pengalungan samir profesor disematkan, tepuk tangan panjang menggema. Bukan hanya tanda penghormatan atas pencapaian akademik, tapi juga penghargaan bagi seorang ilmuwan yang meyakini, bahwa hukum yang adil adalah hukum yang hidup—bernafas bersama kemaslahatan umat.
(Fur/Ana)



