
Kenang ‘Kekacauan Psikologis’, Prof. Syaiful Bahri Sampaikan Otokritik untuk Pendidikan Islam
BANJARBARU – Di balik pencapaian gelar akademik tertingginya, Prof. Dr. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. menyimpan kenangan mendalam tentang masa-masa sulitnya. Ia bukan mengenang sulitnya meneliti, melainkan rapuhnya kondisi mental yang pernah ia alami.
Dalam pidato pengukuhannya, di antara deretan ucapan terima kasih, ia memberi penghormatan khusus kepada para guru dan mentornya.
“Ketika saya berduka mereka hadir menghibur,” ucapnya.
“Ketika saya mengalami kekacauan psikologis, mereka menenangkannya dengan nasihatnya,” sambung Prof. Syaiful Bahri.
Kenangan personal tentang pentingnya dukungan emosional dan spiritual itu, menjadi latar yang kuat bagi orasi ilmiah yang ia sampaikan. Prof. Syaiful Bahri yang resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Manajemen Pendidikan Islam, justru melontarkan “otokritik” tajam terhadap sistem yang membesarkannya.
Dalam Sidang Senat Terbuka di Gedung Serbaguna Kampus 2 UIN Antasari, Banjarbaru, Selasa (4/11/2025), ia menguraikan berbagai kelemahan yang mendesak untuk dibenahi.
Pendidikan yang “Timpang”
Prof. Syaiful Bahri tanpa ragu menyebut bahwa kondisi pendidikan Islam di Indonesia saat ini secara umum memiliki “multipersoalan”. Ia mengidentifikasi berbagai kritik, mulai dari profesionalitas guru, kurikulum, hingga maraknya perundungan dan tawuran pelajar.
Namun, kritik utamanya tertuju pada satu kelemahan fatal: ketidakseimbangan.
“Kelemahan lainnya adalah pendidikan Islam terlalu mengedepankan pendidikan kecerdasan intelektual (IQ),” paparnya.
“Sementara pada saat yang sama kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) terkesan terabaikan dari agenda Pendidikan,” sambung Prof. Syaiful Bahri.
Akibat dari ketidakseimbangan ini, menurutnya, adalah lahirnya lulusan yang tidak utuh.
“Out-put pendidikan melahirkan manusia Indonesia dengan pribadi yang timpang; cerdas secara intelektual, tetapi belum cerdas pada aspek emosional dan spiritual,” tegas Prof. Syaiful Bahri.
Solusi: Manajemen Mutu untuk Manusia Seutuhnya
Sebagai pakar manajemen pendidikan, ia menawarkan solusi konkret: penerapan manajemen mutu terpadu. Menurutnya, untuk membangun citra positif, pendidikan Islam harus berbenah secara sistematis, mulai dari perencanaan, pengendalian, pengawasan, hingga evaluasi mutu.
Tujuannya bukan sekadar memperbaiki citra lembaga, melainkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu membangun “manusia seutuhnya”.
“Profil manusia seutuhnya adalah sosok manusia dengan mantel ‘kesalehan insani’,” jelasnya,
“Di mana jiwanya senantiasa diselimuti oleh semangat kesalehan individual dan kesalehan sosial secara serasi dan seimbang,” tambah Prof. Syaiful Bahri.
Dirinya pun dikukuhkan bersama delapan guru besar lainnya, dalam sidang senat yang dipimpin oleh Rektor Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A.
(Fur/Ana)



