
“Ibu Pertiwi Menangis”: Prof. Sukarni Paparkan Konsep Ekotauhid Saat Pengukuhan Guru Besar
BANJARBARU – “Ibu pertiwi yang telah melahirkan kita menangis, meratapi nasib anak cucunya yang hidup atas nama kemajuan, tetapi justru menuju kehancuran”.
Gambaran pilu itu dilontarkan oleh Prof. Dr. H. Sukarni, M.Ag., dalam orasi ilmiahnya di Gedung Serbaguna Kampus 2 UIN Antasari, Banjarbaru, Selasa (4/11/2025). Ia tidak sedang membacakan puisi, melainkan memaparkan fakta krisis ekologis akibat era industri dan kapitalisasi yang telah membuat bumi menderita.
“Manusialah yang paling merasakan dampak perubahan iklim tersebut dan manusialah yang paling bertanggung jawab,” tegasnya.
Momentum itu adalah pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Fikih Lingkungan. Dalam orasinya yang berjudul “Restorasi Lingkungan: Dari Fikih Hingga Ecotauhid”, ia menawarkan solusi restorasi alam yang berakar dari hukum hingga keyakinan inti ajaran Islam.
Menjaga Alam adalah Fardu Kifayah
Prof. Sukarni menjelaskan, Islam memiliki seperangkat aturan yang ia sebut fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah), yakni aturan perilaku ekologis untuk mencapai kemaslahatan.
Namun, ia menekankan upaya restorasi ini bukan sekadar kewajiban individu, melainkan fardu kifayah—kewajiban kolektif yang menuntut keterlibatan seluruh elemen masyarakat.
Ia memperingatkan, jika masyarakat tidak merasa ikut bertanggung jawab, program pemerintah secanggih apa pun akan sia-sia.
“Sebaik apa pun program konservasi yang dicanangkan oleh pemerintah, tanpa dirasakan masyarakat sebagai kewajiban bersama untuk mewujudkannya, maka program tersebut berpeluang hanya sebagai hiasan kertas belaka,” paparnya.
Dari Dosa Menuju Kufur
Lebih jauh, Prof. Sukarni menawarkan konsep yang lebih radikal, yaitu Ekotauhid. Konsep ini membungkus isu lingkungan dengan ajaran paling sentral dalam Islam: Tauhid (mengesakan Allah).
Dalam pandangan ini, alam adalah manifestasi (tajalli) dari Tuhan. Oleh karena itu, merusak alam tidak lagi hanya sebatas dosa sosial, tetapi telah menyentuh ranah akidah.
“Menjaga alam berarti menjaga keharmonisan dengan Tuhan, sebaliknya merusak alam sama dengan merusak-Nya yang mengundang murka Tuhan,” jelasnya.
Dalam konsep ini, lanjut Prof. Sukarni, perilaku pengrusakan terhadap lingkungan bukan saja soal dosa, tetapi menyangkut kerusakan iman yang membawa kekufuran.
Ia juga mengaitkan kearifan teologis ini dengan ulama Banjar, seperti Syekh Arsyad al-Banjari dan Syekh Nafis, yang gagasannya dapat memberi energi bagi tindakan konservasi.
“Menyayangi lingkungan sama dengan menyayangi Penciptanya, Allah Swt. Merusak lingkungan sama dengan merusak Penciptanya,” pungkasnya.
Prof. Sukarni yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, dikukuhkan oleh Rektor Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A. bersama delapan guru besar lainnya.
(Fur/Ana)



