
Dosen UIN Antasari Berpartisipasi di AICIS+ 2025: Ajang Produktif Perkaya Wawasan dan Perkuat Silaturahmi
DEPOK – Pelaksanaan Konferensi Internasional Tahunan Studi Islam (AICIS)+ ke-24 membawa kesan mendalam bagi akademisi yang hadir, termasuk dua dosen dari Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin. Mereka pun melihat bagaimana acara tersebut tidak hanya produktif secara keilmuan, tetapi juga sukses menjadi ajang memperkuat jaringan dan silaturahmi.
Konferensi yang berlangsung pada 29–31 Oktober 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok ini, diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Mengusung tema “Islam, Ekoteologi, dan Transformasi Teknologi: Inovasi Multidisiplin untuk Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan”, AICIS+ 2025 memecahkan rekor dengan 2.434 pengirim abstrak dari 31 negara.
Musyarrafah Sulaiman Kurdi, M.Pd.I., dosen UIN Antasari yang juga sedang menempuh studi S-3 di UIII, mengungkapkan rasa bangganya bisa terlibat aktif dalam ajang tersebut.
“Alhamdulillah, suatu kehormatan dapat memfasilitasi diskursus panel invited journal sebagai moderator,” ujarnya kepada Pusat Humas dan Keterbukaan Informasi, Kamis (30/11).

Menurutnya, AICIS+ adalah kegiatan yang sarat wawasan dan produktivitas.
“Kegiatan ini sangat memperkaya khazanah keilmuan dan pengalaman bagi seluruh peserta yg hadir,” kata Syara (sapaan akrabnya).
Ia menambahkan, AICIS+ merupakan platform penting untuk mendorong dialog intelektual dan kolaborasi di tingkat perguruan tinggi. Syara optimis berbagai hasil riset yang dipaparkan, dapat berkontribusi dalam menemukan solusi atas permasalahan global saat ini.

Kesan serupa disampaikan Khalilah Nur ‘Azmy, M.A., dosen UIN Antasari lainnya. Tema besar Ekoteologi tahun ini memberinya kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan peneliti dari berbagai wilayah Indonesia serta mancanegara, seperti Jerman, Turki, dan India.
Pada hari pertama konferensi, Khalilah mempresentasikan artikelnya mengenai dialektika konservasi hutan di tengah wacana penolakan Taman Nasional Meratus.
“Dalam panel saya, diskusi berkembang menarik—mulai dari pembahasan ekonomi sirkuler berbasis ekoteologi di desa, hingga potensi penerjemahan sastra Arab dalam membangun narasi ekoteologis,” tuturnya.

Selain sesi akademis, Khalilah menyoroti aspek “networking” atau silaturahmi yang justru sering terjadi di luar panel resmi.
“Justru, percakapan ringan di sela makan siang, atau obrolan spontan saat menunggu hujan reda sebelum berpindah gedung, sering kali lebih hangat dan dalam,” ungkapnya.
Khalilah mengamini ucapan seorang rekannya yang menyebut inti dari acara Kemenag adalah silaturahmi. Menurutnya, konferensi ilmiah memiliki esensi ganda.
“Diseminasi ilmu pengetahuan sekaligus mendorong keakraban, kolaborasi berbagai sudut pandang, dan kesediaan untuk mendengarkan dan memahami ragam pandangan dari berbagai latar belakang,” pungkasnya.
Selain dosen, alumnus UIN Antasari juga ada yang sedang menumpuh S-2 di kampus ini, yakni Yulia Fernandita, S.Pd., yang berpartisipasi sebagai moderator di AICIS+ 2025.
Rektor Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A. pun turut aktif terlibat dalam acara penting tersebut, baik sebagai panitia pengarah, maupun pembahas dalam sesi diskusi paralel.
(Fur/Ana)
Baca juga: UIN Antasari Jajaki Peluang “Dual Degree” dengan Universitas Luar Negeri di Forum Rektor AICIS+ 2025



