
Dianggap “Lancang” dan Hanya Diberi “Sapambari Haja”: Prof. Wahidah Bela Hak Ahli Waris Pengganti
BANJARBARU – Bayangkan seorang cucu yang telah yatim piatu. Ketika kakek atau neneknya wafat, ia berharap mendapat bagian warisan untuk menggantikan posisi orang tuanya yang telah tiada. Namun, dalam musyawarah keluarga, ia justru menemui “jalan buntu”.
Alih-alih mendapat hak, paman dan bibinya memvonis ia hanya akan diberi “sapambari haja” (pemberian sekadarnya saja). Bahkan, ada yang menganggapnya “terlalu berani (lancang)” karena menuntut haknya.
Fenomena pahit inilah yang diangkat oleh Prof. Dr. Wahidah, M.H.I., dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besarnya. Dalam Sidang Senat Terbuka di Gedung Serbaguna Kampus 2 UIN Antasari, Banjarbaru, Selasa (4/11/2025), ia resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Fikih Mawaris.
Dalam pidatonya, Prof. Wahidah menyoroti bagaimana Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, menjadi solusi atas kebuntuan hukum waris yang selama ini merugikan para cucu.
“Angin Segar” Pasal 185 KHI
Prof. Wahidah menjelaskan, dalam hukum waris Islam (faraid) klasik, cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu, seringkali terhalang (mahjub) hak warisnya oleh paman atau bibinya yang masih hidup.
Namun, menurutnya, hukum di Indonesia telah berevolusi.
“Kehadiran Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, telah memberi ‘angin segar’ bagi para cucu yang orang tuanya (laki-laki atau perempuan) meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris,” tegas Prof. Wahidah.
Pasal 185 KHI inilah yang memperkenalkan konsep “Ahli Waris Pengganti”.
Tepis Tudingan Bias Gender
Prof. Wahidah menegaskan, bahwa terobosan ini sekaligus menjawab tudingan bahwa hukum waris Islam bercorak patrilineal atau bias gender.
Menurutnya, Pasal 185 KHI bersifat responsif gender, karena memberi hak waris kepada cucu, baik dari garis keturunan anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal ini memberi perlindungan hukum pada ahli waris dzawil arham (dari garis perempuan), yang dalam pandangan klasik sering tidak mendapat bagian.
Meski di masyarakat Banjar penerapannya masih sulit dan sering memerlukan somasi atau gugatan, Prof. Wahidah menemukan fakta hukum yang melegakan.
“Hasil temuan penelitian ini terdapat empat buah penetapan dan dua buah putusan (di Pengadilan Agama Banjarmasin), yang semuanya sesuai dengan pasal 185 KHI,” ungkapnya.
“Dan keenam tetapan serta putusan itu telah responsif gender,” sambung Ketua Prodi S-2 Hukum Keluarga Islam tersebut.
Di akhir orasi Prof. Wahidah meneteskan air mata, mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukungnya hingga ke posisi ini. Di antara yang sangat dikenangnya adalah kebersamaan dengan almarhum sang suami, yang banyak memberikan andil berarti dalam langkah kehidupan yang dijalani.
Prof. Dr. Wahidah pun kemudian dikukuhkan oleh Rektor UIN Antasari Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A., bersama delapan guru besar lainnya
(Fur/Ana)



