
Di Konferensi Antarbangsa Islam Borneo XVI, Rektor UIN Antasari Bertanya: Buta dan Tulikah Kita Terhadap Kerusakan Alam?
PONTIANAK – Rektor Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.A. menyatakan, salah satu akar krisis lingkungan saat ini adalah hilangnya rasa takjub dan sakralitas manusia modern terhadap alam. Menurutnya, interaksi manusia dengan alam kini cenderung dangkal dan kehilangan penghayatan.
Pernyataan tersebut ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam Seminar Internasional Ucap Perdana, pada hari kedua Konferensi Antarbangsa Islam Borneo (KAIB) XVI, di Hotel Mercure, Rabu (10/9/2025). Dalam acara yang dihelat IAIN Pontianak bekerja sama dengan Universiti Teknologi Mara (UiTM) Cawangan Sarawak tersebut, Prof. Mujiburrahman membawakan materi bertajuk “Buta dan Tulikah kita? Sains, Agama, dan Krisis Lingkungan”.
Mengawali paparannya, dirinya merujuk pada buku “Sacred Nature” karya Karen Armstrong (2023), yang mengkritik cara manusia modern berinteraksi dengan lingkungan.
“Orang sekarang tidak duduk lalu menghayati keindahan dan menikmatinya, tetapi yang penting berfoto lalu di-upload di Instagram, di Facebook, dan lain-lain. Jadi ada kedangkalan,” ujar Rektor.
“Ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan modern kita, yaitu ketika kita melihat alam, sense of wonder, perasaan kita merasa kagum/terpesona itu mulai terkikis,” tambahnya.
Ia mengaitkan fenomena ini dengan peringatan pemikir muslim, Seyyed Hossein Nasr, yang sejak tahun 1966 telah berbicara tentang krisis spiritual manusia modern dalam karyanya Man and Nature. Menurut Rektor, Nasr telah mengingatkan bahaya perkembangan sains dan teknologi yang terlepas dari kerangka nilai-nilai agama dan etika, yang dapat berakibat destruktif bagi alam.
Pandangan ini, lanjutnya, berakar pada “saintisme”, sebuah paham yang hanya mengakui kebenaran rasional dan empiris dari sains sebagai satu-satunya rujukan hidup.
Tiga Solusi Akademik
Menghadapi tantangan tersebut, Prof. Mujiburrahman menawarkan tiga solusi yang dapat diinisiasi dari dunia akademik.
Pertama, kalangan perguruan tinggi keagamaan harus merumuskan kembali hubungan yang komplementer antara sains dan agama. Dirinya mencontohkan kebingungan publik saat pandemi Covid-19, dengan adanya kelompok yang menolak sains atas nama iman.
“Itu pernyataan seolah-olah benar secara agama, tapi sebenarnya tidak benar. Itu karena ada satu kesalahan memahami sains di satu sisi, dan teologi keyakinan agama di sisi lain, yang seolah-olah itu bertentangan,” jelas alumnus Pesantren Al-Falah tersebut.
Kedua, Prof. Mujiburrahman mendorong pengembangan wacana teologis seperti ekoteologi dan fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah). Dalam hal ini, ia mengapresiasi gagasan Kiai Ali Yafie yang menambahkan hifzul bi’ah (menjaga lingkungan) sebagai tujuan syariah (maqasid asy-syariah) yang keenam, melengkapi lima tujuan yang sudah ada.
Menurutnya, alam semesta, manusia, dan kitab suci merupakan tiga lokus “ayat” atau tanda kebesaran Allah Swt. yang harus dihormati secara setara.
“Kalau kita orang Islam takut kualat menginjak Al-Qur’an, kualat yang sama harusnya juga dirasakan ketika kita merusak alam, merusak kemanusiaan. Karena itu semua adalah ayat-ayat Tuhan,” tegas lulusan S-3 Universiteit Utrecht Belanda tersebut.
Ketiga, Prof. Mujiburrahman menekankan pentingnya kajian empiris oleh kampus-kampus di Borneo mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat industri, seperti tambang batu bara dan perkebunan sawit. Hasil penelitian tersebut, menurutnya, harus menjadi rekomendasi bagi penguasa dan publik untuk mendorong perubahan. Sebagai langkah awal, ia mengajak setiap perguruan tinggi untuk memulai gerakan dari lingkungan internal melalui konsep green campus.
Selain dari Banjarmasin, turut hadir menjadi pembicara adalah Naib Conselor UiTM Shah Alam, Rektor IAIN Pontianak, Rektor UiTM Sarawak, Rektor UiTM Sabah, Rektor Universiti Islam Sultan Sharif Ali Brunei Darussalam.
Berikutnya Wakil Ra’es Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan Brunei Darussalam, Rektor UIN Palangkaraya, Rektor UIN Samarinda, Rektor Universitas Mulawarman, Rektor Universitas Palangkaraya, dan perwakilan dari Baitul Mal Sarawak.
KAIB merupakan acara yang melibatkan tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kegiatan diselenggarakan dari tanggal 9 hingga 11 September. Konferensi ini menjadi ajang bagi para akademisi untuk mempresentasikan 150 naskah makalah, dengan tema besar “Perdamaian Dunia, Krisis Lingkungan Hidup, dan Dialog Antarperadaban Gelombang Kedua”.

Sebelumnya pada Selasa (9/9) malam, Rektor diundang ramah tamah bersama Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi’i dan Gubernur Kalimantan Barat. Turut berhadir para tamu dari perguruan tinggi di Brunei Darussalam, Sarawak, dan Sabah, juga sejumlah tamu dari Filipina. Kemudian hadir pula Rektor UIN Palangkaraya, Wakil Rektor 2 UIN Samarinda, dan Rektor IAIN Pontianak sebagai tuan rumah.
(Fur/Ana)
