
Dari Era Kapur Tulis ke Gawai: Prof. Nida Mufidah Kenang 55 Tahun Transformasi Belajar Bahasa
BANJARBARU – Di hadapan rapat senat terbuka UIN Antasari, Prof. Dr. Hj. Nida Mufidah, M.Pd. mengajak hadirin sejenak bernostalgia. Ia mengenang masa-masa sekolahnya di era 70-an. Saat itu, ingatan terkuatnya adalah bagaimana guru menjadi satu-satunya sumber ilmu.
“Saya masih ingat bahwa pada masa itu guru adalah sumber utama pembelajaran. Tak ada guru, berarti tidak ada pembelajaran,” kenangnya dalam pidato yang berlangsung di Gedung Serbaguna Kampus 2, Banjarbaru, Selasa (4/11/2025).
Kisah personal itu menjadi pembuka bagi orasi ilmiahnya yang berjudul “Transformasi Strategi Pembelajaran Bahasa di Era Digital”. Prof. Nida, yang telah menyaksikan langsung evolusi dari papan tulis kapur ke gawai di tangan siswa selama 55 tahun, resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Strategi Pembelajaran Bahasa.
Pengukuhan ini merupakan bagian dari Sidang Senat Terbuka UIN Antasari yang mengukuhkan total 9 guru besar baru.
Strategi Lama, Wajah Baru
Dalam paparannya, Prof. Nida menegaskan bahwa strategi pembelajaran bahasa yang fundamental—seperti strategi memori, kognitif, dan sosial—masih sangat relevan. Namun, era digital telah mentransformasikannya.
Ia mencontohkan, strategi “memori” yang dahulu mengandalkan catatan manual, kini bertransformasi menggunakan aplikasi seperti Quizlet. Begitu pula strategi “sosial”, yang dulu terbatas pada teman sekelas, kini bisa dilakukan untuk kolaborasi lintas budaya melalui media sosial.
“Proses transformasi strategi pembelajaran bahasa bukan berarti menggantikan strategi belajar yang lama, melainkan proses adaptasi yang memperkaya cara kita belajar dan berinteraksi di era digital,” jelas Prof. Nida.
Tiga Tantangan Utama
Meski teknologi menawarkan banyak peluang, Prof. Nida menyoroti tiga tantangan besar yang masih dihadapi Indonesia.
“Beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa mayoritas permasalahan terkait pelibatan teknologi dalam pembelajaran di Indonesia menyangkut tiga aspek, yaitu kesiapan guru, keterbatasan infrastruktur dan fasilitas, dan minimnya digital literasi peserta didik,” paparnya.
Ia mengkritik guru yang kerap salah kaprah dalam memanfaatkan teknologi. Menurutnya, teknologi harus diintegrasikan secara bermakna, bukan sekadar jadi alat hiburan.
“Sebagian guru cenderung memanfaatkan teknologi hanya sebagai alat bantu presentasi, media hiburan, dan sarana administratif tanpa mengaitkan dengan tujuan pembelajaran dan strategi pembelajaran yang efektif,” tegasnya.
Selain itu, Prof. Nida juga menyoroti rendahnya literasi digital siswa.
“Minimnya digital literasi membuat penggunaan teknologi berdampak negatif bagi peserta didik, seperti sulit berkonsentrasi saat belajar dengan media digital, dan penyalahgunaan gawai untuk media hiburan saja,” tambahnya.
Solusi
Menjawab tantangan transformasi strategi pembelajaran bahasa di era digital, Prof. Nida memaparkan serangkaian rekomendasi strategis yang komprehensif.
“Pilar utama dari solusi ini adalah penguatan kapasitas guru bahasa secara berkelanjutan,” tegasnya.
Namun Prof. Nida menekankan, pelatihan tersebut tidak boleh hanya berfokus pada penggunaan aplikasi, melainkan harus mengintegrasikan secara mendalam antara aspek pedagogi (cara mengajar) dan teknologi.
“Kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan asosiasi profesi guru, menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem pelatihan yang berkesinambungan ini,” dorongnya.
Di sisi kebijakan, Prof. Nida menyarankan pemerintah untuk mempercepat pemerataan infrastruktur digital, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Menurutnya, tanpa pemerataan akses internet dan perangkat, transformasi digital hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.
“Rekomendasi ini juga harus didukung oleh lembaga pendidikan yang mengembangkan kurikulum yang lebih fleksibel dan responsif terhadap teknologi, yang mampu mengakomodasi model pembelajaran berbasis proyek dan kolaboratif,” jelas Anggota Dewan Pendidikan tersebut.
Sementara untuk mengatasi masalah rendahnya literasi digital siswa, solusinya menurut Prof. Nida bukanlah menjadikannya mata pelajaran terpisah, melainkan menanamkannya sejak dini langsung ke dalam pembelajaran bahasa.
“Guru bahasa, misalnya, dapat mengintegrasikan kegiatan evaluasi sumber daring, diskusi tentang etika digital, atau refleksi penggunaan teknologi dalam proses belajar,” urainya.
Terakhir, pengurus Asosiasi Tradisi Lisan Kalimantan Selatan ini, juga menggarisbawahi pentingnya penelitian dan evaluasi berkelanjutan dengan perguruan tinggi serta berperan menyediakan data empiris, agar setiap inovasi pembelajaran yang diterapkan selalu berbasis bukti yang kuat.
Prof. Nida yang saat ini menjabat Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, dikukuhkan bersama delapan guru besar lainnya.
(Fur/Ana)
Tag:Guru Besar, Nida Mufidah


